Tak Kunjung Reda, Trump Tegaskan Tidak Akan Cabut Tarif 145% dari China

5/8/20253 min baca

man in black suit jacket with red heart on his neck
man in black suit jacket with red heart on his neck

Jakarta, 8 Mei 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali menunjukkan sikap kerasnya dalam kebijakan perdagangan dengan China. Dalam konferensi pers di Gedung Putih, Trump dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak akan mencabut tarif impor sebesar 145% yang dikenakan pada barang-barang dari China kecuali ada negosiasi langsung dengan Presiden China, Xi Jinping. “Tidak,” jawab Trump singkat saat ditanya oleh awak media apakah ia bersedia menurunkan bea masuk tersebut, seperti dilansir Bloomberg pada Mei 2025.

Pernyataan ini disampaikan menjelang pertemuan krusial antara pejabat tinggi AS dan China yang dijadwalkan pekan ini. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, bersama Perwakilan Perdagangan AS, Jamieson Greer, akan bertemu dengan Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng, untuk membahas solusi atas ketegangan perdagangan yang terus meningkat. Bessent menyebut tarif 145% ini sebagai “embargo ekonomi” yang tidak berkelanjutan, dan menegaskan bahwa target utama pertemuan adalah mencapai kesepakatan dagang yang adil bagi kedua negara.

Eskalasi Perang Dagang AS-China

Konflik perdagangan antara AS dan China bukanlah hal baru. Sejak dimulai pada 2018 di masa kepresidenan pertama Trump, kedua negara telah saling membalas dengan tarif tinggi. Setelah terpilih kembali pada 2024, Trump memperkeras kebijakan proteksionismenya dengan menaikkan tarif hingga 145% pada 2025—langkah yang disebut sebagai salah satu kebijakan paling agresif dalam sejarah perdagangan modern. Tujuannya adalah melindungi industri domestik AS, khususnya di sektor teknologi, manufaktur, dan pertanian, dari apa yang disebut Trump sebagai “praktik perdagangan tidak adil” oleh China.

Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Laporan International Monetary Fund (IMF) pada April 2025 menyebutkan bahwa perang dagang ini telah merugikan ekonomi global hingga US$1,2 triliun, akibat terganggunya rantai pasok dan penurunan investasi lintas negara. Di AS, kenaikan harga barang konsumsi akibat tarif ini mulai terasa, membebani daya beli masyarakat. Sebagai respons, China memberlakukan tarif balasan yang memukul sektor ekspor AS, terutama kedelai dan produk teknologi.

Menurut Reuters (Mei 2025), sejumlah ekonom memperingatkan bahwa eskalasi ini dapat memicu resesi global jika tidak segera diatasi. “Tarif 145% bukan hanya sinyal politik, tetapi juga senjata ekonomi yang berisiko tinggi,” ujar Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel, dalam wawancara dengan The Guardian.

Dampak Ekonomi yang Nyata

Tarif sebesar 145% telah menciptakan efek domino di kedua negara. Di AS, industri yang bergantung pada impor komponen China, seperti elektronik, otomotif, dan peralatan rumah tangga, menghadapi kenaikan biaya produksi yang drastis. U.S. Chamber of Commerce melaporkan bahwa sejak 2025, tarif ini telah menambah beban sebesar US$200 miliar bagi pelaku bisnis dan konsumen AS. Harga ponsel pintar, misalnya, dilaporkan naik hingga 20% di pasar AS, menurut Forbes.

Di China, ekspor ke AS turun tajam sebesar 15% pada kuartal pertama 2025, berdasarkan data dari General Administration of Customs China. Untuk mengurangi dampaknya, China mulai mengalihkan fokus perdagangan ke Uni Eropa, ASEAN, dan pasar domestiknya sendiri. South China Morning Post melaporkan bahwa Beijing juga meningkatkan subsidi untuk industri lokal guna menjaga stabilitas ekonomi.

Diplomasi di Tengah Ketegangan

Pertemuan antara Bessent, Greer, dan He Lifeng menjadi harapan baru untuk meredakan konflik. Dalam wawancara dengan CNBC pada Mei 2025, Bessent menegaskan bahwa AS tidak ingin perang dagang berlarut-larut. “Kami butuh kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, bukan hanya salah satu,” katanya. Namun, Trump tampaknya tetap pada pendiriannya. Dalam pidato kampanye Februari 2025, ia menuduh China melakukan “pencurian kekayaan intelektual” dan “manipulasi mata uang,” seraya bersumpah untuk tidak mundur.

Analis dari Goldman Sachs memprediksi negosiasi ini akan berjalan sulit. “Trump ingin menunjukkan dominasi, sementara China tidak akan mudah menyerah pada tekanan,” tulis laporan mereka pada Mei 2025. Sementara itu, The Wall Street Journal melaporkan bahwa Xi Jinping telah memerintahkan delegasinya untuk mempertahankan kepentingan strategis China, termasuk dalam hal teknologi seperti 5G dan kecerdasan buatan.

Reaksi Pasar Global

Pasar keuangan dunia bereaksi keras terhadap pernyataan Trump. Indeks Dow Jones turun 2% sehari setelah konferensi pers, sementara yuan China melemah 1,5% terhadap dolar AS dalam seminggu, menurut Bloomberg. Investor khawatir bahwa ketidakpastian ini akan berlangsung lama. Ellen Zentner dari Morgan Stanley memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS bisa turun ke 1,8% pada 2026 jika perang dagang berlanjut, sementara IMF memprediksi pertumbuhan China melambat ke 5,2%.

Implikasi bagi Indonesia

Indonesia, sebagai mitra dagang besar China, turut terkena imbas. Bank Indonesia mencatat penurunan ekspor ke China sebesar 8% pada kuartal pertama 2025, terutama untuk komoditas seperti minyak sawit dan batubara. Namun, ada sisi positifnya. Banyak perusahaan multinasional, seperti yang dilaporkan Nikkei Asia, mulai memindahkan rantai pasok dari China ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kementerian Perdagangan Indonesia mencatat kenaikan investasi asing di sektor manufaktur sebesar 12% pada 2025.

Kesimpulan

Sikap Trump yang menolak mencabut tarif 145% tanpa negosiasi menegaskan bahwa perang dagang AS-China masih jauh dari kata usai. Meskipun ada upaya diplomasi melalui pertemuan pejabat tinggi, tantangan besar tetap menghadang. Hasil dari perundingan ini akan menjadi penentu arah ekonomi global, dengan dunia menahan napas menanti langkah selanjutnya dari dua raksasa ekonomi ini.