Tarif Buat Ekonomi AS Melemah, Trump Justru Klaim Sebaliknya

6/7/20253 min baca

man in black suit standing beside woman in black dress
man in black suit standing beside woman in black dress

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali mengklaim bahwa kebijakan tarif yang diterapkannya telah mendorong pertumbuhan ekonomi AS yang pesat. Dalam unggahan di platform X miliknya, Trump menulis, "Karena tarif, ekonomi kita (AS) berkembang pesat." Namun, data ekonomi terbaru justru menunjukkan gambaran yang berlawanan, dengan indikator-indikator utama yang mengkhawatirkan sejak awal tahun 2025. Pelemahan mata uang dolar AS, penurunan pengeluaran konsumen, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi bukti nyata dari dampak negatif tarif tersebut. Bahkan, perusahaan-perusahaan besar seperti Apple terpaksa memindahkan produksi ke luar negeri untuk menghindari beban tarif yang semakin berat.

Dolar AS Terpuruk dan Pengeluaran Konsumen Menurun

Salah satu indikator yang paling mencolok adalah pelemahan mata uang dolar AS. Dalam Indeks Dolar AS (USDX), yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, tercatat penurunan sebesar 10% sejak awal tahun 2025. Pada bulan Januari, indeks ini berada di level US$110 ribu, namun kini anjlok ke US$98 ribu. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya kepercayaan investor terhadap ekonomi AS di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan tarif. Data dari Bloomberg juga menunjukkan bahwa pengeluaran konsumen AS (US Consumer Spending) mengalami penurunan tipis sebesar 0,2% pada akhir Mei 2025. Selain itu, indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) turun hingga 2,1% dalam periode yang sama, menandakan perlambatan aktivitas ekonomi yang signifikan.

Menurut analisis dari The Wall Street Journal, kebijakan tarif yang agresif telah memicu ketidakpastian di pasar global, yang pada gilirannya membebani nilai tukar dolar AS. Pelemahan dolar ini tidak hanya mengurangi daya beli konsumen AS tetapi juga meningkatkan biaya impor, yang semakin menekan pengeluaran rumah tangga. Sementara itu, The New York Times melaporkan bahwa penurunan pengeluaran konsumen merupakan respons langsung terhadap kenaikan harga barang-barang impor akibat tarif, yang memaksa konsumen untuk mengurangi belanja atau beralih ke produk domestik yang lebih mahal.

Pertumbuhan Ekonomi Melambat dan Ancaman Resesi

Data dari U.S. Bureau of Economic Analysis menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) AS tumbuh hanya sebesar 1,4% pada kuartal pertama 2025, turun tajam dari 2,8% pada kuartal keempat 2024. Perlambatan ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan ekspor dan investasi bisnis, yang terhambat oleh ketidakpastian perdagangan global. Laporan dari International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa kebijakan tarif Trump berpotensi memicu resesi global, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang direvisi turun menjadi 1,7% untuk tahun 2025, jauh di bawah target pemerintah sebesar 3%.

Para ekonom dari Penn Wharton Budget Model memperkirakan bahwa tarif yang diterapkan Trump dapat mengurangi PDB AS hingga 8% dan upah sebesar 7% dalam jangka panjang. Analisis ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga kelas menengah berisiko kehilangan hingga US$58.000 seumur hidup akibat dampak ekonomi dari tarif tersebut. Sementara itu, Tax Foundation memperkirakan bahwa tarif ini setara dengan kenaikan pajak rata-rata sebesar US$1.200 per rumah tangga AS pada tahun 2025, yang akan semakin membebani konsumen di tengah inflasi yang meningkat.

Reaksi Pasar dan Perpindahan Produksi Perusahaan

Kebijakan tarif juga memicu reaksi keras di pasar keuangan. Indeks S&P 500 mengalami penurunan tajam sebesar 2,7% dalam sehari pada awal April 2025, yang merupakan penurunan terburuk sejak 2022, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters. Volatilitas pasar ini mencerminkan kekhawatiran investor akan perlambatan ekonomi dan potensi resesi akibat eskalasi perang dagang. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar AS mulai mencari cara untuk menghindari dampak tarif dengan memindahkan produksi ke luar negeri. Apple, misalnya, telah memilih India sebagai lokasi produksi ponsel iPhone untuk mengurangi ketergantungan pada pabrik di China, yang terkena tarif tinggi. Langkah serupa diambil oleh perusahaan lain di sektor teknologi dan manufaktur, yang berpotensi mengurangi lapangan kerja di AS.

Menurut Bloomberg, perpindahan produksi ini tidak hanya berdampak pada industri teknologi tetapi juga pada sektor lain seperti otomotif dan manufaktur baja. Tarif yang dikenakan pada baja dan aluminium telah menyebabkan kenaikan biaya produksi, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Asosiasi Pembangun Rumah Nasional (NAHB) memperingatkan bahwa tarif pada kayu lunak dari Kanada telah meningkatkan biaya konstruksi, yang berujung pada kenaikan harga rumah dan perlambatan di sektor perumahan.

Klaim Trump vs. Realitas Ekonomi

Meskipun Trump mengklaim bahwa tarifnya mendorong pertumbuhan ekonomi, data dan analisis dari berbagai sumber menunjukkan sebaliknya. Laporan dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan bahwa ekonomi AS akan tumbuh hanya sebesar 1,2% pada 2026, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 1,6%, akibat dampak tarif yang berkepanjangan. Ekonom senior di JPMorgan Research, Michael Feroli, menyatakan bahwa tarif ini dapat menaikkan inflasi sebesar 1-1,5% pada tahun 2025, yang akan semakin membebani konsumen dan bisnis.

Selain itu, The Budget Lab at Yale memperkirakan bahwa tarif yang diterapkan sepanjang tahun 2025 akan mengurangi PDB AS sebesar 0,9% pada tahun tersebut, dengan dampak jangka panjang yang lebih besar. Analisis ini menegaskan bahwa klaim Trump tentang pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat tarif tidak didukung oleh data empiris.

Kesimpulan

Kebijakan tarif Donald Trump telah memicu ketidakpastian ekonomi yang signifikan, dengan data yang menunjukkan pelemahan mata uang, penurunan pengeluaran konsumen, dan perlambatan pertumbuhan PDB. Meskipun Trump mengklaim sebaliknya, bukti dari berbagai sumber terpercaya menunjukkan bahwa tarif ini lebih merugikan daripada menguntungkan ekonomi AS. Perusahaan-perusahaan besar terpaksa memindahkan produksi ke luar negeri untuk bertahan, yang berpotensi mengurangi lapangan kerja dan investasi domestik. Dengan ancaman resesi yang semakin nyata, kebijakan tarif ini menjadi perdebatan sengit di kalangan ekonom dan pelaku pasar, yang khawatir akan dampak jangka panjangnya terhadap stabilitas ekonomi global.