Trump Tarif 32% Ancam Ekspor Indonesia ke AS: Surplus Perdagangan 57 Bulan Terancam?

4/4/20253 min baca

trump tarif sign
trump tarif sign

Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan kebijakan yang mengguncang dunia perdagangan internasional: pemberlakuan tarif impor untuk lebih dari 60 negara, termasuk Indonesia. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap apa yang dianggapnya sebagai ketidakadilan dalam perdagangan global. Khusus untuk Indonesia, yang disebut mengenakan pajak sebesar 64% pada barang-barang impor dari AS, Trump menetapkan tarif balasan sebesar 32% untuk produk-produk ekspor Indonesia yang masuk ke pasar AS. Langkah ini menjadi sorotan karena AS merupakan mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah China, dengan kontribusi surplus ekspor yang signifikan.

Pada Maret 2025 saja, surplus ekspor Indonesia ke AS mencapai US$3,14 miliar (setara Rp52,5 triliun dengan kurs saat ini), menegaskan posisi AS sebagai pasar penting bagi perekonomian Indonesia. Dengan catatan surplus perdagangan yang telah berlangsung selama 57 bulan berturut-turut, kebijakan tarif ini memunculkan pertanyaan besar: apakah tren positif tersebut akan terputus, atau hanya akan menyusut? Artikel ini akan mengulas dampak potensial dari kebijakan tersebut terhadap sektor ekspor Indonesia, langkah-langkah yang mungkin diambil pemerintah, serta implikasinya bagi masa depan perdagangan Indonesia.

Sektor Ekspor yang Terancam

Kebijakan tarif 32% ini diprediksi akan langsung memengaruhi daya saing produk-produk ekspor unggulan Indonesia di pasar AS. Berikut adalah sektor-sektor yang paling berpotensi terkena dampak:

  1. Footwear (Alas Kaki)
    Industri alas kaki Indonesia telah lama menjadi penyumbang besar devisa ekspor, dengan AS sebagai salah satu pasar utamanya. Tarif tambahan ini dapat meningkatkan harga jual produk di AS, sehingga mengurangi daya tariknya dibandingkan produk dari negara lain yang tidak terkena tarif serupa.

  2. Pakaian
    Sektor tekstil dan garmen, yang mencakup pakaian jadi, juga menjadi tulang punggung ekspor nonmigas Indonesia. Kenaikan biaya akibat tarif ini berisiko membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam atau Bangladesh.

  3. Mesin Listrik
    Produk-produk seperti peralatan elektronik dan komponen listrik yang diekspor ke AS akan menghadapi tekanan serupa. Industri ini, yang membutuhkan stabilitas pasar, bisa kehilangan pangsa jika tarif terus diberlakukan.

  4. Karet dan Seafood
    Komoditas alam seperti karet dan hasil laut (seafood) juga tidak luput dari ancaman. AS merupakan salah satu importir utama karet dan udang dari Indonesia, dan kenaikan tarif dapat mengurangi permintaan dari pasar tersebut.

Dampak langsung dari tarif ini adalah potensi penurunan volume ekspor, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan pelaku industri dan pekerja di sektor-sektor tersebut.

Signifikansi Surplus Perdagangan Indonesia

Indonesia telah menikmati performa perdagangan luar negeri yang mengesankan, dengan surplus selama 57 bulan berturut-turut hingga Maret 2025. Posisi AS sebagai mitra dagang terbesar kedua setelah China menjadikannya pilar penting dalam pencapaian ini. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai US$28 miliar, dengan surplus yang konsisten mendukung stabilitas ekonomi nasional.

Namun, kebijakan tarif Trump ini mengancam momentum tersebut. Meskipun surplus mungkin tidak langsung hilang, para ahli memperkirakan bahwa nilainya bisa menyusut signifikan jika tidak ada respons yang cepat dan tepat dari Indonesia. “Kita harus realistis. Surplus masih bisa bertahan dalam jangka pendek, tapi jika tarif ini berlangsung lama tanpa solusi, angkanya akan tergerus,” kata seorang ekonom senior.

Respons Pemerintah dan Pelaku Industri

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menghadapi ancaman ini. Beberapa langkah strategis sedang dipertimbangkan untuk meminimalkan dampak tarif, antara lain:

  • Diversifikasi Pasar Ekspor
    Pemerintah berupaya mempercepat perjanjian dagang dengan negara-negara lain, seperti Uni Eropa, Australia, dan kawasan Timur Tengah, untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

  • Hilirisasi Produk
    Program hilirisasi, yang fokus pada peningkatan nilai tambah komoditas, diharapkan dapat membuat produk Indonesia lebih kompetitif meski menghadapi tarif tinggi. Misalnya, mengolah karet menjadi ban atau tekstil menjadi pakaian jadi berkualitas tinggi.

  • Efisiensi Industri
    Pelaku industri, khususnya di sektor tekstil dan alas kaki, mulai mencari cara untuk menekan biaya produksi. Beberapa perusahaan bahkan mempertimbangkan opsi relokasi ke negara dengan akses perdagangan yang lebih baik ke AS, meskipun ini masih dalam tahap diskusi.

Dampak Jangka Panjang dan Pertanyaan Besar

Dalam jangka panjang, kebijakan proteksionis AS ini bisa memaksa Indonesia untuk mengubah strategi perdagangannya secara mendasar. Jika tarif ini bertahan atau bahkan meningkat, Indonesia harus lebih agresif mencari pasar alternatif dan memperkuat daya saing produknya. Namun, jika adaptasi dilakukan dengan cepat, ada peluang bahwa dampaknya hanya akan terbatas pada penyusutan surplus, bukan penghentian total tren positif.

Lantas, apakah catatan surplus 57 bulan berturut-turut ini akan berdampak buruk atau hanya sekadar menyusut? Jawabannya tergantung pada ketangguhan Indonesia dalam menghadapi gejolak ini. Yang pasti, kebijakan Trump menjadi ujian besar bagi ekonomi Indonesia di tengah dinamika perdagangan global yang kian menantang.

Image Source: BBC