Tenang! Sebentar Lagi AS-China Bakal Tekan Kesepakatan Dagang
Surakarta, 1 November 2025 – Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Scott Bessent, mengumumkan bahwa AS dan China akan segera menandatangani kesepakatan perdagangan dalam sepekan mendatang. Pengumuman ini menjadi sinyal positif di tengah ketegangan dagang yang memanas selama berbulan-bulan, di mana AS telah menurunkan tarif 57% untuk barang-barang China dan 10% untuk fentanil usai pertemuan KTT APEC. "Amerika Serikat dan China akan menandatangani kesepakatan dalam sepekan mendatang dan yakin keputusan itu akan bertahan, karena kesepakatan telah dicapai. Lalu, kami telah mencapai keseimbangan di mana kedua belah pihak sepakat akan beroperasi selama 12 bulan ke depan," ujar Bessent, seperti dilansir dari Financial Times.
Pernyataan ini muncul usai Trump ungkap keinginannya untuk menghapus tarif 10% lagi pada China dan ingin mempertahankan kesepakatan dagang yang lebih tahan lama. Namun, Bessent memperingatkan bahwa China tidak akan lagi dapat menggunakan mineral penting sebagai alat pemaksaan. Menurutnya, pemerintah China telah membuat kesalahan serius dengan mengambil tindakan terhadap tanah jarang, yang menjadi perdebatan sengit belakangan ini. "China tidak boleh lagi menggunakan mineral sebagai senjata; ini harus menjadi masa depan perdagangan yang adil," tambah Bessent.
Latar Belakang Ketegangan Dagang
Ketegangan dagang AS-China telah menjadi isu global sejak 2018, ketika Trump pertama kali memberlakukan tarif untuk mengatasi defisit perdagangan AS yang mencapai US$375 miliar pada 2024, menurut data U.S. Census Bureau. Pada September 2025, Trump mengancam kenaikan tarif 100% terhadap ekspor China sebagai balasan atas pembatasan ekspor mineral tanah jarang oleh Beijing, yang menguasai 70% pasokan global mineral ini, menurut U.S. Geological Survey. Mineral tanah jarang seperti neodymium dan dysprosium vital untuk teknologi tinggi, termasuk baterai EV, smartphone, dan peralatan militer.
Menurut Reuters, pembicaraan ini melibatkan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dan Bessent, yang digambarkan sebagai "terbuka dan konstruktif." Kesepakatan awal ini membatalkan rencana penerapan tarif tambahan 100% atas impor China yang seharusnya berlaku 1 November. Sebagai bagian dari kesepakatan, China sepakat menunda selama satu tahun pembatasan ekspor mineral penting yang digunakan dalam industri pertahanan dan teknologi. Keduanya menyebut telah mencapai konsensus awal, dengan langkah selanjutnya adalah proses persetujuan internal di masing-masing negara.
Dampak Ekonomi Global
Kesepakatan ini menjadi angin segar bagi pasar keuangan. Pasar saham AS naik, dengan S&P 500 +0,5%, Nasdaq +0,8%, dan Dow Jones +0,4%, menurut MarketWatch. Di Asia, IHSG Indonesia naik 0,5% ke 7.892, sementara rupiah menguat ke Rp16.454 per dolar AS, dipengaruhi oleh capital inflow, seperti dilaporkan Bisnis Indonesia.
Di pasar kripto, Bitcoin naik tipis ke US$111.000, menurut CoinMarketCap, karena investor mencari lindung nilai terhadap ketidakstabilan fiat. "Meredanya perang dagang bisa dorong likuiditas lebih tinggi ke crypto," kata analis Ted Pillow di X.
Analisis Ahli dan Prediksi
Ekonom Nouriel Roubini dari NYU menyatakan dalam wawancara dengan CNBC bahwa kesepakatan ini bisa mencegah penurunan PDB global 0,5% pada 2026 jika eskalasi dihindari. "Ini langkah positif, tapi masih awal; diplomasi harus berlanjut," ujarnya. Di sisi lain, analis dari Goldman Sachs memperkirakan bahwa meredanya ancaman menjadi naik 0,2% pada Q4 2025, meskipun ketidakpastian tetap membayangi.
Di Indonesia, sebagai mitra dagang, meredanya ancaman ini bisa menstabilkan ekspor komoditas seperti nikel, dengan potensi peningkatan 10-15% jika perang dagang meluas dihindari, menurut The Jakarta Post.
Kesimpulan
Meredanya perang dagang AS-China setelah kesepakatan awal di KTT ASEAN menjadi angin segar bagi pasar global, meskipun emas mengalami penurunan sebagai aset safe-haven. Dengan pembatalan tarif 100% dan penundaan ekspor mineral dari China, pasar saham menguat, tapi investor tetap waspada terhadap risiko geopolitik. Di masa depan, dialog berkelanjutan diharapkan mencegah eskalasi yang merugikan ekonomi dunia.
