Trump Batalkan Sejumlah Tarif: AS-China Sepakati Perundingan Ulang untuk Hindari Eskalasi


Surakarta, 20 Oktober 2025 – Pekan lalu, Presiden AS Donald Trump sempat mengancam kenaikan tarif 100% terhadap produk China, yang memicu gejolak di pasar keuangan global. Namun, kedua negara kini sepakat untuk menggelar perundingan tarif "secepatnya" guna mencegah siklus baru yang merugikan kedua belah pihak. Kesepakatan ini tercapai setelah panggilan video antara Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang digambarkan sebagai pembicaraan terbuka dan konstruktif. Langkah ini menjadi sinyal positif di tengah ketegangan perdagangan yang telah berlangsung sejak 2018.
Menurut pernyataan resmi Gedung Putih, Trump setuju untuk membatalkan sebagian tarif yang diancamkan sebelumnya, termasuk pada produk teknologi dan komoditas, sebagai langkah awal menuju dialog. "Kami tidak ingin perang dagang berkepanjangan; ini buruk bagi kedua negara," ujar Trump dalam konferensi pers. Sebaliknya, China menyambut baik inisiatif ini, dengan Kementerian Luar Negeri menyatakan, "Kami siap berdialog untuk menyelesaikan perbedaan secara damai," seperti dilansir Xinhua.
Kesepakatan ini juga membuka kemungkinan pertemuan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping di KTT APEC mendatang, yang sempat dibatalkan oleh Trump. Menurut Reuters, pembatalan tarif ini bisa mengurangi beban ekonomi AS, di mana defisit perdagangan dengan China mencapai US$375 miliar pada 2024, sementara China menguasai 70% pasokan mineral langka global, menurut U.S. Geological Survey.
Dampak pada Pasar Keuangan
Pasar langsung bereaksi positif. Indeks S&P 500 naik 0,5%, Nasdaq 0,8%, dan Dow Jones 0,4%, menurut MarketWatch. Di Asia, IHSG naik 0,5% ke 7.892, sementara rupiah menguat ke Rp16.454 per dolar AS, menurut Bisnis Indonesia. Di pasar kripto, Bitcoin naik tipis ke US$111.000, menurut CoinMarketCap, karena investor mencari lindung nilai terhadap ketidakstabilan fiat.
Latar Belakang Ketegangan
Ketegangan dimulai ketika Trump mengancam tarif 100% sebagai respons terhadap kebijakan ekspor mineral langka China. Mineral ini vital untuk teknologi tinggi seperti semikonduktor dan baterai EV. Menurut The Wall Street Journal, ancaman ini bisa mengganggu rantai pasok global, tapi dengan kesepakatan ini, kedua negara menghindari eskalasi yang bisa memicu inflasi lebih tinggi.
China, melalui Kementerian Perdagangan, menegaskan tidak akan mundur tapi siap dialog. "Kami tidak takut perang tarif, tapi kami lebih memilih resolusi damai," ujar juru bicara He Yadong. Bloomberg melaporkan bahwa panggilan video antara He Lifeng dan Scott Bessent menjadi kunci, dengan fokus pada isu ekspor dan perdagangan bilateral.
Dampak Ekonomi dan Prediksi Ahli
Ekonom Nouriel Roubini dari NYU memperingatkan bahwa tanpa kesepakatan, perang dagang bisa menambah inflasi AS 0,3% dan memperlambat PDB 0,2% pada 2026. Di sisi lain, analis dari Goldman Sachs memperkirakan bahwa meredanya ancaman bisa mendorong PDB global naik 0,1% pada Q4 2025.
Di Indonesia, sebagai mitra dagang, meredanya ancaman ini bisa menstabilkan ekspor komoditas seperti nikel. "Ini peluang bagi Indonesia untuk tingkatkan ekspor ke kedua negara," kata ekonom Faisal Basri dari UI di Kompas.
Kesimpulan
Kesepakatan AS-China untuk perundingan ulang menunjukkan diplomasi masih menjadi jalan keluar di tengah ketegangan. Dengan pembatalan sebagian tarif, pasar global bernapas lega, tapi ketidakpastian tetap jadi risiko. Di masa depan, dialog berkelanjutan diharapkan mencegah eskalasi yang merugikan ekonomi dunia.
