Tuntutan Kenaikan Upah Buruh 10,5% Dinilai Berat di Tengah Ekonomi Belum Stabil

9/29/20252 min baca

group of people wearing orange caps
group of people wearing orange caps

Surakarta, 29 Agustus 2025 – Tuntutan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 10,5% yang disuarakan buruh menuai respons dari kalangan pengusaha. Mereka menilai kenaikan tersebut terlalu tinggi dan berpotensi membebani pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Tuntutan ini muncul di tengah perdebatan tentang formula penetapan upah minimum setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah sebagian Undang-Undang Cipta Kerja, membuat pengusaha khawatir akan ketidakpastian regulasi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam, mengatakan bahwa kenaikan upah harus berdasarkan formula yang ditetapkan pemerintah, bukan tuntutan sepihak. "Yang penting bukan naik 8,5% atau 10% tapi bagaimana daya beli buruh dapat dipertahankan atau bahkan dinaikkan. Artinya harga barang perlu dikendalikan," kata Bob Azam kepada Bisnis Indonesia pada 20 Agustus 2025. Ia menambahkan bahwa seruan kenaikan tinggi dapat memicu inflasi dan menggerus daya beli buruh itu sendiri.

Tuntutan kenaikan 10,5% ini disuarakan oleh serikat buruh seperti KSPI dan KSBSI, yang menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara pada awal Agustus. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, kenaikan ini diperlukan untuk mengimbangi inflasi dan biaya hidup yang naik, terutama di sektor makanan dan transportasi. "Buruh butuh kenaikan upah yang layak untuk bertahan di tengah krisis," ujar Iqbal dalam wawancara dengan CNN Indonesia pada 18 Agustus 2025.

Latar Belakang dan Regulasi Upah Minimum

Penetapan upah minimum di Indonesia diatur oleh PP No 51/2023, yang menggunakan formula berdasarkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Namun, putusan MK pada akhir 2024 mengabulkan sebagian tuntutan buruh, yang membuat pemerintah harus merevisi kebijakan ketenagakerjaan. Menurut Hukumonline.com, putusan MK ini membuat penetapan upah minimum lebih fleksibel, tapi juga menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha karena formula lama dianggap terlalu rendah oleh buruh.

Untuk 2025, upah minimum nasional naik 6,5%, tapi buruh menuntut kenaikan lebih tinggi untuk 2026 karena inflasi yang naik ke 2,37% pada Juli 2025, menurut data BPS. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu, mengatakan kepada Tempo.co bahwa kenaikan 10,5% bisa jadi berlebihan. "Kenaikan upah harus seimbang dengan produktivitas. Jika terlalu tinggi, bisa memicu PHK dan inflasi," ujarnya.

Dampak Ekonomi dan Respons Pengusaha

Pengusaha khawatir kenaikan upah 10,5% akan meningkatkan biaya produksi, terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan manufaktur. Wakil Ketua Umum Apindo, Sanny Iskandar, menyatakan kepada CNBC Indonesia pada 27 Agustus 2025, "Kondisi ekonomi saat ini tidak ideal. Kami harus menunggu formula baru dari pemerintah setelah putusan MK. Tuntutan 10,5% bisa membebani usaha kecil." Ia menambahkan bahwa kenaikan upah harus mempertimbangkan kondisi sektor yang berbeda, karena tidak semua industri mampu menanggung beban yang sama.

Di sisi lain, buruh menilai kenaikan ini wajar karena biaya hidup naik. Menurut data BPS, inflasi pangan naik 4,5% pada 2025, yang memengaruhi daya beli pekerja. "Kenaikan 6,5% untuk 2025 tidak cukup. Kami butuh 10,5% untuk 2026 agar buruh bisa hidup layak," kata Ketua KSBSI Elly Rosita Silaban dalam unggahan di X pada 20 Agustus 2025.

Perbandingan dengan Negara Lain

Di kawasan Asia, kenaikan upah minimum juga menjadi isu hangat. Di Jepang, upah minimum naik 5,1% pada 2025 menurut Nikkei Asia, sementara di Korea Selatan naik 2,5% karena kekhawatiran inflasi. Di Indonesia, dengan tingkat pengangguran pemuda 14,2% menurut BPS, kenaikan upah diharapkan mendorong konsumsi tapi juga berisiko meningkatkan inflasi jika tidak dikelola dengan baik.

Kesimpulan

Debat kenaikan upah minimum 10,5% mencerminkan tantangan ekonomi Indonesia di tengah pemulihan pasca-pandemi. Dengan putusan MK yang membuka ruang revisi, pemerintah diharapkan menemukan formula yang adil. Koordinasi antara buruh, pengusaha, dan pemerintah menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi dan daya saing nasional.