Warren Buffett Kritik Kebijakan Tarif Trump: Ancaman bagi Ekonomi Global

5/4/20253 min baca

warren buffett
warren buffett

Jakarta, 4 Mei 2025 – Investor legendaris Warren Buffett, yang dikenal luas sebagai "Oracle of Omaha" dan CEO Berkshire Hathaway, kembali menjadi sorotan dunia setelah mengeluarkan kritik tajam terhadap kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump. Dalam pernyataan resminya yang dirilis pada awal Mei 2025, Buffett menyebut kebijakan tersebut sebagai "kesalahan besar" yang tidak hanya merugikan ekonomi Amerika Serikat (AS), tetapi juga mengancam hubungan internasional dan stabilitas perdagangan global. Kritik ini menggema di tengah meningkatnya ketegangan ekonomi dunia, menambah bobot pada perdebatan sengit tentang proteksionisme versus perdagangan bebas.

Tarif Trump: Kebijakan yang Kontroversial

Kebijakan tarif Trump pertama kali diperkenalkan pada 2018 selama masa jabatan pertamanya, dengan fokus pada impor dari China, dan kemudian diperluas pada masa jabatan keduanya yang dimulai pada 2025. Tarif ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan asing yang dianggap tidak adil. Namun, Buffett menilai pendekatan ini justru kontraproduktif. Dalam wawancara eksklusif dengan CNBC pada 3 Mei 2025, ia menyatakan, "Tarif adalah pajak terselubung yang dibayar oleh konsumen AS, bukan oleh negara lain. Ini bukan solusi, melainkan beban bagi rakyat kita sendiri."

Data dari Bloomberg (Mei 2025) mendukung pernyataan Buffett, menunjukkan bahwa tarif terhadap barang-barang China telah membebani konsumen dan bisnis AS dengan biaya tambahan sebesar US$79 miliar sejak 2018. Lebih jauh lagi, ekspor AS ke China turun drastis sebesar 20% dalam periode yang sama, terutama memengaruhi sektor pertanian seperti kedelai dan manufaktur seperti otomotif. Reuters (2025) juga melaporkan bahwa perusahaan-perusahaan AS menghadapi kenaikan biaya produksi akibat gangguan rantai pasok global yang dipicu oleh perang tarif ini.

Pandangan Buffett: Proteksionisme Mengisolasi AS

Buffett memperingatkan bahwa pendekatan proteksionisme dapat mengasingkan AS dari komunitas internasional. "Dunia tidak menyukai kebijakan yang egois. Ketika kita menutup diri, kita kehilangan peluang untuk tumbuh bersama," ujarnya. Ia menekankan bahwa kemakmuran global justru memperkuat posisi AS sebagai pemimpin ekonomi dunia, bukan melemahkannya. "Setiap negara memiliki keunggulan kompetitifnya masing-masing. Kita harus saling berdagang untuk mencapai kemakmuran bersama," tambahnya, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antarnegara.

Filosofi Buffett ini sejalan dengan laporan The Economist (April 2025), yang menyebutkan bahwa negara-negara seperti Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko telah membalas tarif AS dengan kebijakan serupa, menciptakan efek domino yang merugikan semua pihak. Proyeksi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2025 dari 3,5% menjadi 3,1%, dengan alasan utama adalah ketidakpastian akibat konflik perdagangan.

Dampak Nyata di Lapangan

Dampak kebijakan tarif ini terasa nyata di berbagai sektor. Menurut The Wall Street Journal (2025), petani di Midwest AS melaporkan penurunan pendapatan hingga 30% karena pasar ekspor mereka menyusut. Di sisi lain, industri teknologi seperti Apple, yang bergantung pada rantai pasok global, menghadapi kenaikan biaya komponen yang akhirnya dibebankan kepada konsumen. Buffett, yang merupakan pemegang saham besar di Apple melalui Berkshire Hathaway, menyoroti bahwa perusahaan multinasional seperti ini justru berkembang berkat akses ke pasar global, bukan karena proteksionisme.

Sementara itu, Financial Times (Mei 2025) melaporkan bahwa inflasi di AS naik sebesar 1,2% sejak awal 2025, sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga barang impor akibat tarif. Hal ini memperkuat argumen Buffett bahwa kebijakan ini merugikan daya saing AS di panggung dunia.

Suara Dunia Bisnis dan Ekonom

Kritik Buffett tidak berdiri sendiri. CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, dalam wawancara dengan Forbes (2025), menyebut tarif sebagai "strategi yang merusak diri sendiri" yang melemahkan perekonomian AS. Ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, dalam kolomnya di The New York Times (Mei 2025), menulis, "Tarif Trump adalah eksperimen ekonomi yang gagal. Bukannya melindungi pekerja, ini justru memperburuk ketidakstabilan global." Bahkan mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers, menyatakan dalam sebuah seminar di Universitas Harvard bahwa "tarif telah menjadi bencana ekonomi yang terselubung sebagai nasionalisme."

Namun, pendukung Trump, seperti Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, tetap bersikeras bahwa tarif diperlukan untuk melindungi pekerja Amerika. Dalam wawancara di Fox Business (2025), Lutnick mengklaim bahwa kebijakan ini telah "mengembalikan keadilan dalam perdagangan global." Namun, data dari U.S. Bureau of Labor Statistics menunjukkan bahwa lapangan kerja di sektor manufaktur AS hanya tumbuh sebesar 0,5% sejak 2023, jauh di bawah harapan pemerintah.

Seruan Buffett untuk Perdagangan sebagai Alat Pembangunan

Di tengah kritiknya, Buffett tetap optimistis dan menawarkan solusi. Ia mengajak semua pihak untuk melihat perdagangan sebagai alat pembangunan, bukan senjata yang memicu konflik. "Kita harus fokus pada keunggulan kita dan membangun hubungan yang saling menguntungkan," katanya. Dalam laporan tahunan Berkshire Hathaway 2025, ia menulis, "Proteksionisme adalah jalan yang salah. Kita tidak bisa menutup diri dari dunia jika ingin bertahan dalam jangka panjang."

Buffett juga mencontohkan kesuksesan perusahaan seperti Coca-Cola dan Apple, yang keduanya merupakan investasi besar Berkshire Hathaway. "Mereka tumbuh karena pasar global, bukan karena tembok tarif," ujarnya. Ia menyerukan kepemimpinan yang bijaksana untuk membangun "jembatan, bukan tembok," demi masa depan ekonomi yang lebih stabil.

Masa Depan Perdagangan Global

Dengan meningkatnya tekanan dari tokoh seperti Buffett, dunia kini menantikan apakah pemerintahan Trump akan menyesuaikan strateginya atau tetap mempertahankan pendekatan proteksionisme. Analis dari Goldman Sachs (2025) memperkirakan bahwa eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang dapat memicu resesi ringan di AS pada 2026 jika tidak ada perubahan kebijakan. Sementara itu, Buffett tetap yakin bahwa kerja sama internasional adalah kunci menuju kemakmuran berkelanjutan.

Kritik Buffett tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Suaranya, sebagai salah satu investor paling berpengaruh di dunia, telah memperkuat argumen bahwa perdagangan bebas dan kolaborasi global adalah jalan terbaik ke depan.